BELAJAR SUNDA LEWAT AKSARA
Thursday, June 19, 2008
Leni memasuki Galeri Rumah Teh itu dengan wajah ceria. Alumnus PAA Unpad jurusan manajemen itu akan segera melihat keindahan seni tulis tangan indah yang sering dia nikmati di tempat-tempat pamer sejenis semasa dia masih kuliah.
Namun, keningnya berkerut saat mulai memperhatikan beberapa karya yang ditampilkan.
"Hurup apa itu, Kang?" tanyanya pada seorang lelaki di sana.
"Yang pasti bukan Arab, kan!" ujarnya kemudian.
Setelah mendapat penjelasan dari lelaki itu, Leni pun mengangguk dan kembali tersenyum.
"Oh begitu. Ternyata bagus juga, ya," kata Leni.
Hari itu, Kamis (2/8), di tempat yang berada di kawasan Taman Budaya Jawa Barat tersebut memang sedang berlangsung pameran kaligrafi. Tapi seni yang ditampilkan bukan mengambil aksara Arab seperti biasa yang sering pajang dan diperdagangkan, melainkan aksara Sunda yang tentunya lahir dari para nenek moyang Leni dan warga parahyangan lainnya. Semuanya tertuang tidak pada kanvas atau media pabrikan eropa lainnya, melainkan pada bahan kertas asli produk nusantara yang sudah mulai punah yakni kertas daluang.
Ada sekitar 40-an karya kaligrafi dari lima seniman yang hadir di sana. Dari keseluruhan itu ada beberapa karya yang tampil tidak hanya menonjolkan huruf dan gambar semata, namun sekaligus mengaitkannya dengan budaya atau pun hal-hal yang berbau kesundaan.
Edi Dolan, misalnya. Dalam karyanya yang berjudul Asmarandana I dan II, Edi menggambarkan dalam bentuk dua wayang golek yang memanjang ke bawah. Sesuai judulnya, wayang-wayang asli Parahyangan itu dibentuk dengan aksara-aksara Sunda berdasarkan syair-syair lagu Sunda asmarandana I dan II. Asmarandana sendiri adalah salah satu dari 17 jenis lagu yang dikenal pada masyarakat Sunda.
Begitu pun pada Asihan Batu dan Kembang Kembangning Simpe. Kedua kaligrafi itu Edi ambil berdasarkan sajak-sajak Sunda cipta karya penyair Ajip Rosidi dan Soni Farid Maulana. Sesuai dengan temanya Asihan yang berarti isim atau jimat, Edi gambarkan dengan bentuk wadah jimat yang biasa dikaitkan di ujung celana atas, tepatnya di bagian pinggang orang yang memakainya. Sementara yang satunya digambarkan dengan bunga yang sesuai pula dengan tema sajaknya tentang kembang.
Sementara itu, Aep Sigar Rusadi sengaja mengambarkan budaya Sunda baheula (dulu) yang sampai kini masih bisa disaksikan terutama di daerah pesisir tentang ritual permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti misal seren taun dan pesta laut. Bagian-bagian yang digambarkannya terutama keramaian warga desa seusai melakukan ritual resminya itu, seperti menari bersama di bawah lindungan langit dengan gerakan-gerakan lucu.
Hanya saja, berbeda dengan Edi Dolan, pelukis kelahiran Majalengka, Jawa Barat, itu menjadikan kaligrafi aksara Sunda hanya sebagai ornamen dari lukisannya saja. Dari empat karyanya yang berjudul Rajah Al Fatihah I, Rajah Al Fatihah 2, Asihan I dan Asihan 2, hanya aksara Sunda yang berarti Bismillah saja yang ada dalam karyanya. Itu pun diletakkan di tengah gambar tanpa terkait dengan aneka gambar dan warna dalam kertas.
Begitu pun dengan tiga seniman lain yakni, Andi Rizki Ghazali (Kiki), Windi Pratiwi dan Khalid Habib. Selain menjadikan aksara Sunda sebagai pengisi ruang kosong lukisan, mereka bahkan dengan bebasnya melepaskan diri dari segala hal yang berbau kesundaan.
Seperti Kiki, misalnya. Dalam karya berjudul "Fashionable", mahasiswa jurusan kriya tekstil dan mode di STISI Bandung itu melukiskan seorang perempuan tinggi semampai berbalut gaun warna merah yang sedikit tertiup angin bagian bawahnya. Pada ruang-ruang kosong di bagian kiri dan kanan kertas, Kiki hanya mencantumkan empat kata beraksara Sunda yang berarti Keindahan, Kepribadian, Fashion dan Trendy.
Sementara Windi yang sedang menempuh pendidikan di Seni Murni STISI Bandung, pada karya "Surga di Telapan Kaki Ibu" menggambarkan seorang perempuan serupa bidadari dengan latar depan bangunan penuh bunga, dengan dihiasi kaligrafi aksara Sunda yang terbaca Ibu di mata orang lain.
Beda lagi Khalid Habib. Dia bahkan membuat karya dalam bentuk empat patung kepala manusia berbahan kertas daluang yang dibingkai kayu persegi panjang. Judulnya "Wajah Harapan". Kaligrafi aksara Sunda hanya dia cantumkan satu kata di setiap kening patung-patung itu secara berurutan dari mulai Mulut, Mata, Telinga dan Hidung.
Secara keseluruhan, pameran karya kaligrafi aksara Sunda yang baru pertama kali diadakan dan akan berlangsung sampai Minggu (5/8) itu mampu menyedot rasa penasaran bahkan ketidaktahuan masyarakat Sunda pada khususnya dan masyarakat luar Sunda padam umumnya. Terbukti dengan hadirnya peminat-peminat seni yang berdatangan ke sana. Hanya saja kesan tergesa-gesa dan kurang persiapan masih terasa di sana sini, seperti misal hanya tiga dari 40-an karya kaligrafi aksara Sunda saja yang dibingkai. Sementara lainnya telanjang dan ditempel menggunakan kertas perekat.
Tapi seniman sekaligus kurator Galeri Rumah Teh, Isa Perkasa, punya jawaban, "Yang penting, setidak-tidaknya masyarakat Sunda akan lebih mengenal salah satu warisan budayanya. Ya, contohnya seperti yang tadi (Leni) itu ," katanya sambil tersenyum. (Rochmat Darodjat)
0 komentar:
Post a Comment